![]() ![]() Selamat ketemu lagi, pembaca. Edisi 12 masih tetap dengan semangat yang sudah-sudah. Kalau belum baca edisi lalu, silahkan dibuka-buka dulu. Selamat membaca.
|
Tahun
2000, jangan diremehkan Fundamental perekonomian kita kuat, kata bos besar negeri ini, ketika menanggapi gejolak moneter yang berdentam-dentam di sekitar wilayah kita. Bahkan dengan sikap mengejek, beberapa negara tetangga dianggap tidak memiliki kekuatan yang sama dengan negeri kita. Nyatanya tidak demikian. Dan sejarah berulang, pemerintah pun tumbang, paling tidak ditandai dengan turunnya Soeharto dari tampuk negeri ini, sementara hampir 90 persen lebih dari perangkat lama negeri ini masih bercokol. Jika pun ada perubahan, cuma sekedar melakukan relokasi perannya saja. Reformasi yang tak terlalu 'total' ibarat kita tak sepenuh hati ketika mencuci piring. Akibatnya, ketika piring itu kita gunakan, masih ada bau-bau yang aneh melekat di piring kita. Jelas saja, mana bisa kita makan dengan enak, to? Masih adanya peran-peran kelompok lama yang sudah mapan dalam kehidupan keseharian masih mampu membuat jalannya negeri ini tak cukup lancar. Dollar masih bertengger di angka-angka yang fantastis. Sembako pun ikut-ikutan hilang. Bahkan ada jabar, armada angkutan barang dari pelabuhan sempat hilang, karena kebetulan perusahaan armada angkutan tadi masih punya salah satu anak dari Soeharto. Akibatnya distribusi sembako pun terganjal. Kok bisa begitu, ya?. Begitu beritanya. Di beberapa daerah lain lagi. Gubernur dan walikota, yang sebelum jamannya reformasi begitu getol menjilat-jilati (ih, jijik, ya?) bos dan anak-anaknya, masih bercokol. Kabar-kabar bahwa mereka harus memberikan servis kepada bos besar dan anak-anaknya bukan sesuatu yang aneh didengar. Salah satu kabar santer adalah bupati Bantul, yang terbukti dari sebuah pernyataan tertulisnya (ala..maak!) mengenai kesediaannya membayar semilyar rupiah untuk salah satu yayasan bos besar tadi. Masih diusut, memang. Kini para gubernur, bupati dan walikota, ada yang masih mencoba bertahan, dengan tak mau mundur dari pencalonan pemilihan masa bakti keduanya. Rakyat pun, sebagian, ada yang menolaknya. Sejumlah catatan, meski masih tak lengkap, cukup memberikan nilai minus untuk yang bersangkutan. Tetapi, sebagian yang lain, masih mencoba membelanya. Ada yang bilang mereka itu direkayasa, bahkan dibayar. Ada tukang becak di Surabaya, yang menyatakan belum dibayar, padahal sudah demo mendukung gubernur untuk masa keduanya. Bahkan ada kelompok yang bernaju hitam, dengan menggendong senjata tajam, ada yang menyebutnya clurit, untuk mencegat barisan rakyat yang kebetulan menolak calon tersebut. Padahal, gelombang reformasi sebenarnya sudah bisa ditebak akan ke arah mana melajunya. Bisa ditebak pula, di masa sesudah pemilu nanti, komposisi wakil rakyat dipastikan akan menghasilkan wajah sebenarnya dari demokrasi negeri ini. Jadi masalahnya, kenapa ia ngotot yang akhirnya harus menghadapi kekuatan besar yang jelas menolaknya? Wah, wah, wah.... Tips ONLINE pun punya
agenda tersendiri untuk soal-soal seputar
remeh-meremehkan ini, yaitu 'jangan anggap enteng Y2K'.
Artikel ini sudah disampaikan Tips Online di salah satu
edisi lalunya. Soal penyebabnya, Jangankan Indonesia, negeri dengan kebiasaan meremehkan sesuatu yang seharusnya penting, beberapa negara maju pun kedengarannya juga ada yang masih separuh hati menanganinya. Jika Tips Online kali ini mengulang cerita seputar Y2K ini, maka tujuan saya adalah untuk secara ajeg menyatakan, bahwa soal Y2K bukan hal yang bisa dianggap sepele. Kabar-kabar lainnya, tetap cukup layak untuk disimak. Saya telah mencoba mengumpulkan bahan-bahan yang ingin saya tampilkan dalam edisi kali ini. Jika ada yang masih kurang, akan saya coba memperbaikinya di edisi depannya lagi. Tentu saja, hanya Anda yang bisa memberi saya masukan mengenai apa yang kurang, dan yang tak pantas tampil di penerbitan majalah listrik ini. Untuk itu, di bagian akhir dari setiap artikel saya siapkan sarana untuk menyampaikan komentar. harap di-klik untuk berkirim e-mail kepada saya. Pembaca, majalah ini
memang aneh. Tiap edisinya selalu mencatat jumlah pembaca
yang sangat lumayan. Wajar saja kalau saya senang dan
bahagia, mendapatkan respon seperti itu. Tetapi, saya
masih saja sedih, saya kehilangan seseorang yang dulu
kerap berkirim e-mail dengan saya. Apa pun soalnya,
bisakah ia tetap melanjutkan kebiasaan yang sangat saya
senangi tadi? Mungkin saya salah. Untuk itu saya bisa
minta maaf. Tetapi, jangan saya dihukum seperti itu,
dong. (edipur) |
Terbit sejak 5 Maret 1998 |